Asuhan Keperawatan pada Tn. W yang mengalami Acute Coronary Syndrome (ACS) dengan ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) di Ruang ICCU RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo / Nursing Care of Mr. W who experience Acute Coronary Syndrome (ACS) with ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) at ICCU RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Acute Coronary Syndrome (ACS) merupakan kasus kegawatan dari Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang terjadi karena proses penyempitan pembuluh darah sehingga aliran darah koroner berkurang secara mendadak (Irman, dkk. 2020). STEMI (ST Elevasi Miokard Infark) merupakan indikator terjadinya sumbatan total pembuluh darah arteri koroner (PERKI, 2018).
Dari hasil asuhan keperawatan pada Tn. W yang mengalami Acute Coronary Syndrome (ACS) dengan ST Elevasi Miokard Infark (STEMI), maka dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Pengkajian yang dilakukan berfokus pada seluruh aspek yang mempengaruhi keadaan pasien dari anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik serta rekam medis klien. Pada hasil pengkajian ditemukan adanya kesesuaian antara teori dan keadaan pasien, seperti Tn. W mempunyai faktor risiko ACS yang terdiri dari klien mengalami Hipertensi dan DM tipe 2 sejak Juli 2019 lalu, klien mempunyai pola hidup yang tidak sehat, usia 50 tahun, serta perokok aktif. Namun,
terdapat juga perbedaan antara teori dan keadaan pasien yaitu terkait manifestasi klinis atau keluhan Tn. W saat dilakukan anamnesa, klien mengatakan sudah tidak memiliki keluhan yang berarti seperti nyeri dada atau sesak napas dikarnakan klien sudah mendapatkan tatalaksana medis serta menjalani masa rawat selama 3 hari. Dalam melakukan pengkajian terhadap Tn. W, penulis tidak mengalami kesulitan atau hambatan dalam melakukan komunikasi dengan pasien. Selain itu, penulis juga melakukan pemeriksaan fisik dan pemantauan hasil laboratorium klien.
2. Dari hasil pengkajian keperawatan pada kasus Tn. W, penulis menetapkan 5 diagnosis keperawatan yang ditemukan pada tanggal 11 Februari 2020, yaitu risiko penurunan curah jantung, ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan gangguan toleransi glukosa, risiko perfusi perifer tidak efektif, defisit pengetahuan tentang pengendalian PTM berhubungan dengan kurang terpapar informasi, dan risiko jatuh yang dalam penyusunannya sudah disesuaikan dengan penyusunan diagnosis berdasarkan SDKI (2017) sebagai acuannya.
3. Dari diagnosis keperawatan yang telah diprioritaskan penulis menyusun intervensi keperawatan dengan menggunakan acuan SLKI (2019) dan SIKI (2018) yang diharapkan dapat terselesaikan dalam 3x24 jam pelaksanaan serta memenuhi seluruh kriteria hasil yang telah dirancang. Seluruh rencana tindakan yang disusun telah disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pasien. Perencanaan ini melibatkan pasien dan perawat ruangan dalam penyusunannya, dan juga berdasarkan penyesuaian kondisi di ruangan.
4. Pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan oleh penulis sudah sesuai dengan perencanaan yang telah disusun berdasarkan diagnosis dan kondisi pasien dengan menggunakan acuan SIKI (2018). Dalam melaksanakan tindakan keperawatan ini, penulis mensyukuri adanya kerjasama yang baik dari pasien, keluarga maupun perawat di ruangan, sehingga memudahkan penulis dalam pelaksanaan tindakan keperawatan.
5. Evaluasi dilakukan setelah memberikan tindakan keperawatan selama 3x24 jam. Berdasarkan hasil akhir evaluasi keperawatan yang dilakukan pada tanggal 13 Februari 2020, dari kelima diagnosis keperawatan yang diintevensi terdapat satu diagnosis yang teratasi, yaitu defisit pengetahuan tentang pengendalian PTM. Sedangkan empat diagnosis keperawatan lainnya belum dapat teratasi, yaitu risiko penurunan curah jantung, ketidakstabilan kadar glukosa darah, risiko perfusi perifer tidak efektif dan risiko jatuh. Namun, beberapa kriteria hasil yang telah disusun sebagian sudah tercapai tetapi belum bisa memenuhi kriteria untuk dapat disimpulkan bahwa masalah telah teratasi, sehingga intervensi dilanjutkan oleh perawat ruangan dan disusun discharge planning.